Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TANJUNG PINANG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2018/PN Tpg WIHARTO Kepolisian Resort Kota Tanjungpinang Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 09 Mei 2018
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2018/PN Tpg
Tanggal Surat Rabu, 09 Mei 2018
Nomor Surat 216/Sk/V/2018
Pemohon
NoNama
1WIHARTO
Termohon
NoNama
1Kepolisian Resort Kota Tanjungpinang
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan


Tanjungpinang, 07 Mei 2018
Perihal    : PERMOHONAN PRAPERADILAN
                                   ATAS NAMA WIHARTO

Lampiran    : SURAT KUASA KHUSUS

Kepada Yang Terhormat:
Ketua Pengadilan Negeri
Tanjungpinang
 Jalan Ahmad Yani No.29
                                                                                                                      Di
                                                                                                          Tanjungpinang
 

Dengan Hormat,
Kami para Advokat/Penasehat Hukum tersebut dibawah ini masing-masing:
1.    H.Edward Arfa.SH, Advokat/Penasehat Hukum pada Kantor Law Firm Edward Arfa & Partners alamat Jalan Raja Ali Haji No.3 Tanjungpinang, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor: 06/KLF-EA/SKK/V/2018 tanggal 04 Mei 2018 (Terlampir), dan -------------------------------------------------------------------------------
2.    Herman, SH.MH --------------------------------------------------------------------------------
3.    Eko Murtisaputra, SH.MH -------------------------------------------------------------------
4.    Suharjo, SH -------------------------------------------------------------------------------------
Para Advokat/Penasehat Hukum pada Kantor Advokat, Konsultan Hukum Herman, SH.MH & Rekan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 23 April 2018 (Terlampir).----------------------------------------------------------------------------------------

Dalam hal ini baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama serta kepentingan hukum dari : WIHARTO, Tempat/Tanggal lahir: Bintan Utara/02 Mei 1978, Agama: Budha, Kewarganegaraan: Indonesia, Alamat: Komplek Happy Valley Garden Blok I/04 RT.001 RW.005 Kelurahan Sungai Jodoh Kecamatan Batu Ampar, Kota Batam dan Komplek Taman Villa Pinang Jalan Gatot Subroto No.6A Kelurahan Kampung Bulang Kecamatan Tanjungpinang Timur Kota Tanjungpinang; selanjutnya disebut sebagai “PEMOHON” ------------------------------------------------------------------

Dengan ini mengajukan Permohonan “PRAPERADILAN” atas “PENETAPAN TERSANGKA” dan “UPAYA PAKSA PENANGKAPAN ATAU PENAHANAN” TERHADAP PEMOHON cq WIHARTO SELAKU KOMISARIS PT.LOBINDO NUSA PERSADA TANJUNGPINANG yang dilakukan oleh “Kepolisian Negara Republik Indonesia cq Kepolisian Daerah Provinsi Kepulauan Riau cq Kepolisian Resort Kota Tanjungpinang” beralamat di Jalan Ahmad Yani Tanjungpinang Provinsi Kepualuan Riau; selanjutnya disebut sebagai “TERMOHON” ------------------------------------------------------------------------------------

I.    DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
a.    Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. ---------------------------------------------
b.    Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan: “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
1.    Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2.    Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
3.    Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

c. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah: “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”. ----------------------------

d. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini. ---------------

e. Bahwa  selain  itu  telah  terdapat  beberapa   putusan   pengadilan  yang  memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut:
1. Putusan  Pengadilan  Negeri   Bengkayang  No.01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
2.  Putusan  Mahkamah  Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
6. Dan lain sebagainya

f. Bahwa melalui Putusan  Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut:
     Mengadili,
     Menyatakan :
1.    Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
a.    [dst]
b.    [dst]
c.    Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
d.    Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

g. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.---------------------------------------------

II.    TENTANG OBJEK PERMOHONAN PRAPERADILAN

Bahwa berdasarkan “Penyidikan” yang telah dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/17/III/2018/Reskrim Tanggal 10 Maret 2018 dan Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan Nomor: SPDP/19/III/2018/Reskrim Tanggal 12 Maret 2018, Pemohon telah “Ditetapkan Sebagai Tersangka” berdasarkan Surat Penetapan Nomor: B/532/IV/2018/Reskrim Tanggal 20 April 2018 dan selanjutnya pada tanggal yang sama (Tanggal 19 April 2018) Termohon telah melakukan “Upaya Paksa Penangkapan” terhadap Pemohon berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor: P.Kap/34/IV/2018/Reskrim dan kemudian pada Tanggal 20 April 2018 Termohon juga telah melakukan “Upaya Paksa Penahanan” terhadap Pemohon berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/32/IV/2018/Reskrim.-----------------------------------------------------------------
    
Bahwa Pemohon ditetapkan oleh Termohon sebagai Tersangka dan melakukan upaya paksa penangkapan dan penahanan dalam perkara aquo karena telah diduga melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 161 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang berbunyi: “Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batu bara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK. Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHPidana jo 56 Ke-1 KUHPidana”.---------------------------------------------------

Bahwa penyidikan terhadap Pemohon sebagai Tersangka dalam perkara aquo adalah terkait dengan kasus Tersangka Weidra alias Awe selaku Direktur PT. Alam Indah Purnama Panjang (PT. AIPP) dan Tersangka Hendrisin.ST selaku Direktur PT. Lobindo Nusa Persada Tanjungpinang yang ke dua berkas perkara tersebut telah dinyatakan P.21 dan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Tanjungpinang oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Tanjungpinang, yaitu atas sangkaan atau dakwaan telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 161 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang berbunyi: “Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batu bara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK. Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHPidana jo 56 Ke-1 KUHPidana”.---------------------------------------------------

Bahwa dalam pemeriksaan penyidikan Termohon terhadap ke dua orang Tersangka tersebut Pemohon telah diminta keterangan sebagai saksi oleh Penyidik dan selanjutnya Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan Surat Penetapan Termohon Nomor: B/532/IV/2018/Reskrim Tanggal 20 April 2018 dan berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Tersangka terhadap Pemohon yang dilakukan oleh Penyidik pada tanggal 19 April 2018 perbuatan tindak pidana terhadap Pemohon adalah terkait dengan perbuatan Pemohon selaku Komisaris PT. Lobindo Nusa Persada yang telah menandatangani satu (1) lembar Cek Bilyet Giro Mandiri pada Tanggal 30 Oktober 2017 dengan nilai Rp. 497.334.600,- (Empat ratus sembilan puluh tujuh juta tiga ratus tiga puluh empat ribu enam ratus). Pemohon menandatangani Cek Bilyet Giro tersebut adalah atas permintaan dari Hendrisin.ST selaku Direktur PT. Lobindo Nusa Persada, dan tidak memberitahukan kepada Pemohon untuk kepentingan apa Cek Bilyet Giro tersebut Pemohon tandatangani. Pemohon selaku Komisaris memang telah diberi Kuasa oleh Direktur PT. Lobindo Nusa Persada sebelumnya yaitu Tuan Yon Fredy. Sejak terjadi pergantian Direksi Perusahaan dari Yon Fredy kepada Hendrisin.ST selaku Direktur sejak bulan September tahun 2017 kegiatan usaha penambangan dari PT. Lobindo Nusa Persada tidak ada lagi sampai sekarang ini.

Bahwa dalam pemeriksaan Pemohon sebagai Tersangka yaitu sebagaimana termuat dalam Berita Acara Pemeriksaan atas diri Pemohon sebagai Tersangka yang dilakukan oleh Termohon pada tanggal 19 April 2018 sama sekali tidak menyebutkan keterlibatan Pemohon sebagai apa dalam perkara tindak pidana yang dilakukan oleh Tersangka Weidra alias Awei dan Tersangka Hendrisin.ST yaitu apakah Pemohon sebagai “Pelaku”, atau “turut serta melakukan” dan atau “membantu melakukan” tindak pidana yang didakwakan kepada ke dua Tersangka tersebut di atas. Dalam BAP terhadap Pemohon selaku Tersangka hanya dimintakan keterangan mengenai perbuatan Pemohon yang telah menandatangani Cek Bilyet Giro Mandiri atas perintah dari Hendrisin.ST selaku Direktur PT. Lobindo Nusa Persada. -------------------------------

Bahwa berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan dari Termohon terhadap saudara Weidra alias Awei dan saudara Hendrisin.ST sebagai Tersangka dan dalam pemeriksaan tersebut Pemohon juga telah diminta untuk memberikan keterangan sebagai saksi barulah Pemohon mengetahui tentang duduknya perkara aquo sebagai berikut:

1.    Pada hari jumat tanggal 27 Oktober 2017 dan hari sabtu pada tanggal 28 Oktober 2017, Tersangka Weidra alia Awei, memuat mineral berupa biji bouksit dilokasi stockfile (lokasi penimbunan) lama yang berada di lokasi Kp Tanjung Moco RT 003 RW 002 Kel. Dompak Kec. Bukit Bestari Kota Tanjungpinang, dengan menggunakan 6 (enam) unit dumptruck merk Fuso dan membawanya ke Pelabuhan Tanjung Moco, selanjutnya batu bouksit tersebut dimuat ke dalam Kapal tongkang KSD 28 yang rencananya akan dibawa ke Pelabuhan Merunda Jakarta. ------------------------------------------------

2.    Bahwa adapun hal tersebut terjadi dikarenakan antara tersangka Weidra alias Awei bertindak sebagai penjual dan Saksi Adnan Armas selaku Direktur Pemasaran PT Syamindo Tirta Kimia bertindak sebagai pembeli, telah melakukan kesepakatan jual beli batu bouksit dengan harga pertonnya adalah Rp.335.239 (tiga ratus tiga puluh lima ribu rupiah dua ratus tiga puluh smbilan rupiah.). --------------------------------------------------------------------

3.    Bahwa terhadap jual beli batu bouksit tersebut PT Syamindo Tirta Kimia telah melakukan Pembayaran Down Payment (DP) sebesar Rp. 142.095.600,-(seratus empat puluh dua juta Sembilan puluh lima ribu rupiah) ke rekening PT PT. Alam Indah Purnama Panjang (PT AIPP) tanggal 11 September 2017, dan pengiriman uang selanjutnya adalah atas telah dimuatnya 2000 ton biji bouksit ke tongkang KSD 28 pada tanggal 27 Oktober 2017 ke rekening PT Lobindo Nusa Persada pada sebesar Rp.568.382.400,- (lima ratus enam puluh delapan juta tiga ratus delapan puluh dua empat ratus rupiah). ----------

4.    Bahwa atas tindak pidana sebagaimana yang diatur oleh Pasal  158 dan 161 Undang-undang RI Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atas tersangka Weidra alias Awei  dan tersangka Hendrisin.ST telah diperiksa beberapa saksi oleh Termohon berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang pada pokoknya menerangkan  bahwa ada Pertambangan yang dilakukan oleh Tersangka Weidra Alias Awei di Tanjung Moco tidak memiliki izin dan Tersangka Hendrisi.ST membantu melakukan karena Uang masuk melalui rekening PT. Lobindo Nusa Persada dan Pemohon disangkakan sebagai Tersangka karena Menanda Tangani Cek yang diperintahkan oleh Direktur PT Lobindo Nusa Persada yaitu Tersangka Hendrisin.ST. ---------------------------------------------------------------------------------

5.    Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi yang telah diambil keterangannya oleh Termohon menunjukkan bahwa tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 158 dan 161 Undang-undang RI Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah tindak pidana yang berdiri sendiri, dan peranan Tersangka Weidra alias Awei sangat jelas dan terang bahwa Tersangka Weidra alias Awei lah otak pelaku (dadder) dalam perkara tindak pidana dalam perkara a quo. ---------------------

III.    TENTANG HUKUMNYA

6.    Bahwa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP, penyelidikan diartikan sebagai “ serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan” sedangkan penyidikan ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP yaitu “ serangkaian tindakan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. -----------------------------------------

7.    Dari pengertian yang telah ditentukan oleh KUHAP , maka untuk mencapai proses penetuan Tersangka, haruslah terlebih dahulu dilakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana (penyelidikan). Untuk itu diperlukan keterangan dari pihak-pihak yang terkait dan bukti-bukti awal yang dapat dijalin sebagai suatu rangkaian peristiwa sehingga dapat ditentukan ada tidaknya suatu peristiwa pidana. Setelah proses tersebut dilalui , maka dilakukan rangkaian tindakkan untuk mencari dan mengumpulkan bukti agar terang suatu tindak pidana yang terjadi. Untuk itu kembali lagi haruslah dilakukan tindakan-tindakan untuk meminta keterangan dari pihak-pihak yang terkait dan pengumpulan bukti-bukti sehingga peristiwa pidana yang diduga sebelumnya telah menjadi jelas dan terang, dan oleh karenanya dapat ditentukan siapa tersangkanya. Rangkaian prosedur tersebut merupakan cara atau prosedur hukum yang wajib ditempuh untuk mencapai proses penentuan Tersangka. Adanya prosedur tersebut dimaksudkan agar tindakan penyelidik/penyidik tidak sewenang-wenang mengingat seseorang mempunyai hak asasi yang harus dilindungi. ----------------------------------------

Berdasarkan Pendapat guru besar hukum pidana Indonesia , Eddy OS Hiariej, dalam bukunya yang berjudul Teori dan Hukum Pembuktian , untuk menetapkan sesorang sebagai Tersangka , Termohon haruslah melakukannya berdasarkan bukti permulaan’ Eddy OS Hiariej kemudian menjelaskan alat bukti yang dimaksud disini adalah sebagaimana yang tercantum dalam pasal 184 KUHAP, apakah itu keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan Terdakwa ataukah petunjuk, Eddy OS Hiariej berpendapat bahwa kata-kata “bukti permulaan” dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP, tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, namun dapat juga meliputi barang bukti, yang dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal dengan istilah physical evidence atau real evidence. Selanjutnya untuk menakar alat bukti permulaan tidaklah dapat terlepas dari pasal yang akan disangkakan kepada tersangka. Pada hakikatnya pasal yang akan dijeratkan berisi rumusan delik yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti. Artinya pembuktian adanya tindak pidana tersebut haruslah berpatokan kepada elemen-elemen tindak pidana yang ada dalam suatu pasal. Dalam rangka mencegah kesewenang-wenangan penetapan seseorang sebagai tersangka ataupun penangkapan dan penahanan, maka setiap bukti permulaan haruslah dikonfrontasi antara satu dengan lainnya termasuk pula dengan calon tersangka. Mengenai hal ini, dalam KUHAP tidak mewajibkan penyidik untuk memperlihatkan bukti yang ada padanya kepada tersangka, akan tetapi berdasarkan doktrin, hal ini dibutuhkan untuk mencegah apa yang disebut dengan unfair prejudice atau persangkaan yang tidak wajar. -------------------------------------------------
8.    Bahwa oleh karenanya perlu dijelaskan pembuktian merupakan inti persidangan perkara pidana, karena yang dicari dalam hukum pidana adalah kebenaran materiil. Kendatipun demikian  pembuktian dalam perkara pidana sudah dimulai sejak tahap penyelidikan untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Pada tahap ini sudah terjadi pembuktian dengan tindakan penyidik mencari barang bukti, maksudnya guna membuat terang suatu tindak pidana serta menentukan atau menemukan tersangkanya. --------------------------------------------------------------------------------

Dengan demikian dapat dimengerti, bahwa pembuktian dilihat dari perspektif hukum acara pidana yakni ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum, kesemuanya terikat pada ketentuan dan tata cara, serta penilaian terhadap alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang. Dan tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan yang leluasa sendiri dalam menilai alat bukti, dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. -----------------------------------------
9.    Bahwa dalam perkara pidana , pembuktian selalu penting dan krusial. Pembuktian memberikan landasan dan argument yang kuat kepada Penuntut Umum untuk mengajukan tuntutan. Pembuktian dipandang sebagai sesuatu yang tidak memihak, objektif dan memberikan informasi kepada hakim untuk mengambil kesimpulan dari kasus yang sedang disidangkan. Terlebih dalam perkara pidana sudah dimulai dari tahap pendahuluan, yakni diawalai pada tahap penyelidikan dan Penyidikan. Pada tahap pendahuluan/penyelidikan tersebut, tata caranya jauh lebih rumit dengan hukum acara lainnya. -----------------------------------------------------------------------

10.    Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan(hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan  KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum. -----

11.    Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. --------------------

12.    Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon. ----

13.    Bahwa Penyidikan yang dilakakukan atas penetapan Tersangka diri Pemohon bermula dengan pemeriksaan Pemohon sebagai saksi terhadap WEIDRA alias AWEI dan sebagai saksi Direktur  PT Lobindo Nusa Persada, dalam pemeriksaan Pemohon sebagai saksi. ------------------------------------------

14.    Bahwa pada penyidikan pertama  Termohon melakukan Pemeriksaan atas diri Pemohon sebagai saksi dalam tenggang waktu yang normal, hal mana Termohon melaksanakan pemeriksaan dari jam 10.00 Wib sampai dengan jam 13.00 Wib., sedangkan pada pemeriksaan kedua  Termohon melakukan pemeriksaan saksi atas diri Pemohon dari jam 15.00 Wib sampai dengan jam 01.00 Wid (dini hari), dan pada pemeriksaan ketiga Termohon melakukan pemeriksaan saksi atas diri Pemohon yang awalnya Pemohon dipanggil paksa dikantornya pada jam 15.00 Wib kemudian Pemohon dibawa ke Polres Tanjungpinang untuk diambil keterangan sebagai saksi yang berlangsung hingga pukul 03.00 Wib dini hari. --------------------------------------------------------

15.    Bahwa bentuk pemeriksaan Pemohon sebagai saksi oleh Termohon telah sangat diskriminatif dan tidak proporsional dan telah menyalahi Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 15 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf e yang menyatakan :
“ asas proposionalitas artinya Penyidik Polri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya senantiasa memperhatikan prinsip kecepatan, ketepatan dan keseimbangan. ----------------------------------------------------------
Dihubungkan dengan proses pemeriksaan Pemohon sebagai saksi yang dilakukan Termohon hingga larut malam (dini hari) menunjukkan tidak dijalankannya asas proposionalitas dalam pemeriksaan tersebut.----------------
16.    Bahwa sebagaimana yang diketahui, saksi adalah suatu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (vide Pasal 1 butir 27 KUHAP). ------------------

17.    Bahwa setelah beberapa kali Pemohon dimintai keterangan sebagai saksi dengan pemeriksaan yang berlangsung hingga dini hari, pada tanggal 19 April 2018, Termohon melakukan penangkapan terhadap Pemohon berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP.Kap/34/IV/2018/Reskrim tanggal 19 April 2018, Pemohon ditangkap di café Morning Bakery Km 8 Komplek pertokoan D.Green City sekitar jam 17.00 Wib, kemudian Pemohon dibawa Ke Polres Tanjungpinang. ---------------

18.    Bahwa pada tanggal 19 April 2018 sekira jam 21.33 Pemohon dimintai keterangan sebagai tersangka, yang mana sebelumnya tidak ada penetapan tersangka atas diri Pemohon, dan keterangan Pemohon dituangkan oleh Termohon ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dimana BAP tersebut langsung menyatakan Pemohon sebagai tersangka. ---------------------------------

19.    Bahwa dengan tidak adanya penetapan tersangka atas diri Pemohon dalam pengambilan keterangan Tersangka oleh Termohon, menunjukkan bahwa telah terjadi tindakan semena-mena (abuse of power) oleh Termohon dalam mengambil keterangan Pemohon sebagai tersangka tanpa didahului penetapan tersangka atas diri Pemohon. -----------------------------------------------

20.    Bahwa pada keesokan harinya tanggal 20 April 2018 barulah Pemohon ditetapkan sebagai tersangka oleh Termohon berdasarkan Surat Pemberitahuan penetapan tersangka Nomor B/532/IV/2018/Reskrim perihal pemberitahuan penetapan tersangka atas nama WIHARTO yang dikeluarkan oleh Termohon dan ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Tanjungpinang. ------------------------------------------------------------------------------

21.    Bahwa dalam pemeriksaan diri Pemohon sebagai Tersangka, Pemohon diperlihatkan oleh Termohon FOTO COPY Cek Billyet Giro Bank Mandiri Cabang Tanjungpinang tanggal 30 Oktober 2017 dengan nama Cek atas nama PT LOBINDO NUSA PERSADA dengan penerima cek adalah PT ALAM INDAH PURNAMA PANJANG. ----------------------------------------------------------------------

22.    Bahwa selama pemeriksaan berlangsung Termohon hanya memperlihatkan FOTO COPY Cek Billyet Giro Bank Mandiri Cabang Tanjungpinang tanggal 30 Oktober 2017 dengan nama Cek atas nama PT LOBINDO NUSA PERSADA dengan Nilai Rp.497.334.600 (empat ratus Sembilan puluh tujuh juta tigaratus tigapuluh empat ribu enam ratus rupiah) dengan penerima cek adalah PT ALAM INDAH PURNAMA PANJANG, selain itu Termohon tidak pernah memperlihatkan Cek yang asli kepada Pemohon, selanjutnya Cek tersebut tanpa diserta adanya Penetapan Sita dari Ketua Pengadilan, dalam hal ini Ketua Pengadilan Negeri Tanjungpinang, sehingga FOTO COPY Cek Billyet Giro Bank Mandiri Cabang Tanjungpinang tanggal 30 Oktober 2017 dengan nama Cek atas nama PT LOBINDO NUSA PERSADA dengan penerima cek adalah PT ALAM INDAH PURNAMA PANJANG bukanlah barang bukti yang sah menurut hukum untuk dijadikan dasar penetapan tersangka atas diri Pemohon. ------------------------------------------------------------------------

23.    Bahwa adapun yang menjadi dasar Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Tersangka adalah karena Pemohon Menandatangni Cek atas perintah dari direktur  PT Lobindo Nusa Persada Saksi Hendrisin.ST  , dan Penadatanganan cek tersebut atas perintah direktur yang oleh Termohon ditetapkan Tersangka yaitu Hendrisin.ST., meskipun Pemohon Sampaikan baik dalam keterangan sebagai saksi maupun Tersangka Pemohon Menada tangani Cek karena Mendapat Kuasa oleh Direktur Sebelumnya yaitu Yon Fredy berdasarkan Surat Kuasa tanggal 29 Maret 2017. ---------------------------------------------------------------------

24.    Bahwa disamping Berdasarkan Hukum Perusahaan yang bertanggung jawab kedalam dan keluar perusahaan atau Perseroaan Terbatas adalah Direksi sebagai mana yang diatur , dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas(“UUPT”) adalah direksi. Definisi direksi diatur dalam Pasal 1 angka 5 UUPT, yang berbunyi:
“Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.”-----------
25.    Bahwa selanjutnya penandatanganan Cek bukanlah perbuatan pidana apa lagi Penandatangan tersebut atas perintah Direktur (Direksi) sehingga Tindakan Termohon  Menentapkan Pemohon Tersangka adalah bertantangan dengan hukum  , sesungguhnya pengaturan Penadatangan cek tidak diatur dengan spesifik melainkan dibenarkan sepanjang sebagai alat untuk control dan apa lagi ini perintah direksi (Direktur ) Hendrisin.ST dapat kita lihat UUP yang menjelaskan :
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (“UU Perseroan Terbatas”) adalah Dewan Komisaris, yang merupakan Organ Perseroan, bersama-sama dengan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan Direksi. ---------------------------------------------------------------------------------------
Yang menjadi pertanyaan, yang menanyakan boleh atau tidak bolehnya Dewan Komisaris ikut dalam penandatanganan Cek atau Bilyet Giro sebagai suatu alat pembayaran (surat berharga), maka kita dapat  berasumsi bahwa maksud dari pertanyaan tersebut adalah apakah Dewan Komisaris boleh menandatangani Cek/Bilyet Giro, setelah sebelumnya Direksi menandatangani Cek/Bilyet Giro tersebut (jadi ada 2 tanda tangan dalam Cek/Bilyet Giro tersebut). -----------------------------------------------------------------
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu untuk memahami pengertian, tugas dan wewenang dari Dewan Komisaris sebagai Organ Perseroan. -------------------------------------------------------------------------------------
Dalam Pasal 1 angka 6 UU Perseroan Terbatas dinyatakan bahwa Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus, sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. -----------------------------------------
Sesuai dengan hal tersebut diatas  maka dapat disimpulkan bahwa memang tidak ada ketentuan dalam UU Perseroan Terbatas yang secara tegas menyebutkan bahwa dewan komisaris tidak diperbolehkan ikut dalam penanda tanganan cek atau Bilyet Giro , namun dalam Pasal 15 ayat (2) UU Perseroan dapat memuat/mengatur mengenai ketentuan lain, yang tidak bertentangan dengan UU Perseroan Terbatas. ----------------------------------------
Berdasarkan Hal Tersebut dapat dimungkinkan dalam Anggaran Dasar suatu Perseroan Terbatas diatur Dewan Komisaris dapat ikut menandatangani Cek/Bilyet Giro, Komisaris Bertindak sebagi Persona Standi In Judicio (Sebagai sarana Pengawas) suatu Perseoan Terbatas. ------------------------------
26.    Bahwa dengan melihat kontruksi pembuktian dalam tahap Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon tentang peranan Pemohon, yang mana Termohon selalu menitik beratkan kepada bentuk pengawasan/control komisaris kepada Direktur, dihubungkan dengan perjanjian yang dibuat antara tanggal 04 Oktober 2017 antara Hendrisin (Direktur PT Lobindo Nusa Persada) bersama dengan Weidra alias Awei (Direktur PT Alam Indah Purnama Panjang),  adanya perjanjian tersebut oleh Hendrisin (Direktur PT Lobindo Nusa Persada) tidak memberitahukannya kepada Pemohon selaku Komisaris Perseroan, sehingga dngan tidak adanya laporan kegiatan oleh Direktur perseroan, Komisaris tidak bisa melakukan tugasnya sebagai pengawas perseoran, dan dari tahun 2013 sampai dengan saat ini PT Lobindo Nusa Persada tidak ada aktifitas perseroan sebagaimana aktifitas perseroan yang diatur dalam Anggaran Dasar PT Lobindo Nusa Persada. ---------------------------

27.    Bahwa selanjutnya kontruksi pembuktian yang dibangun oleh Termohon hanyalah menitik beratkan kepada Billyet Giro yang ditanda tangani Pemohon atas perintah dari Direktur perseroan, maka dengan ditanda tanganinya Billyet Giro tersebut Pemohon telah diduga oleh Termohon telah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 161 Undang-undang R.I tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1e KUHPidana Jo Pasal 56 Ke-1 KUHPidana. ---------

28.    Bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon setelah Pemohon ditangkap  pada tanggal 19 April 2018 dan diperiksa sebagai Tersangka sampai jam 2 dinihari dengan Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP.Kap/34/IV/2018/Reskrim , tanggal 19 April 2018 dan keesokan hari Pemohon ditahan dengan Surat Perintah Penahanan  Nomor : SP.Han/32/IV/2018/Reskrim. Tanggal 20 April 2018 dan bersamaan dengan itu Termohon Menyerahkan Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor : B/532/IV/2018/Reskrim Tanggal 20 April 2018. -------------------------------------------------------------------------------------------
 
29.    Bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon didasari dengan terpenuhinya Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHPidana dan Pasal 56 ayat 1 ke 1 KUHPidana  , Pasal 55 KUHPidana  menjelaskan:

        Pasal 55 KUHPidana:
          (1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:
          1e.Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut   melakukan perbuatan itu;
         2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.
(2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.
        Pasal 56 KUHP:
    Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:
1.     Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;
2.     Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “orang yang turut melakukan” (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP. Menurut R. Soesilo, “turut melakukan” dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “medepleger” akan tetapi dihukum sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP. --------------------------------
Sedangkan mengenai Pasal 56 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa orang “membantu melakukan” jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka orang tersebut melakukan perbuatan “sekongkol” atau “tadah” melanggar Pasal 480 KUHP, atau peristiwa pidana yang tersebut dalam Pasal 221 KUHP.
Dalam penjelasan Pasal 56 KUHP ini dikatakan bahwa elemen “sengaja” harus ada, sehingga orang yang secara kebetulan dengan tidak mengetahui telah memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu tidak dihukum. “Niat” untuk melakukan kejahatan itu harus timbul dari orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya atau keterangan itu. Jika niatnya itu timbul dari orang yang memberi bantuan sendiri, maka orang itu bersalah berbuat “membujuk melakukan” (uitlokking). ----------------------------------------------------------------------------------
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 123), mengutip pendapat Hazewinkel-Suringa, Hoge Raad Belanda yang mengemukakan dua syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana, yaitu: Kesatu, kerja sama yang disadari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu kehendak bersama di antara mereka; Kedua, mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.
Lebih lanjut, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H.(Ibid, hal. 126-127), sebagaimana kami sarikan, menjelaskan mengenai perbedaan antara “turut melakukan” dan “membantu melakukan”. Menurutnya, berdasarkan teori subjektivitas, ada 2 (dua) ukuran yang dipergunakan: Ukuran kesatu adalah mengenai wujud kesengajaan yang ada pada di pelaku, sedangkan ukuran kedua adalah mengenai kepentingan dan tujuan dari pelaku. -----------------
Ukuran kesengajaan dapat berupa; (1) soal kehendak si pelaku untuk benar-benar turut melakukan tindak pidana, atau hanya untuk memberikan bantuan, atau (2) soal kehendak si pelaku untuk benar-benar mencapai akibat yang merupakan unsur dari tindak pidana, atau hanya turut berbuat atau membantu apabila pelaku utama menghendakinya. ---------------------------
Sedangkan, ukuran mengenai kepentingan atau tujuan yang sama yaitu apabila si pelaku ada kepentingan sendiri atau tujuan sendiri, atau hanya membantu untuk memenuhi kepentingan atau untuk mencapai tujuan dari pelaku utama. --------------------------------------------------------------------------------
Berdasarkan uraian di atas kiranya dapat kita simpulkan perbedaan mendasar dari “turut melakukan” tindak pidana dengan “membantu melakukan” tindak pidana. Dalam “turut melakukan” ada kerja sama yang disadari antara para pelaku dan mereka bersama-sama melaksanakan
kehendak tersebut, para pelaku memiliki tujuan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Sedangkan dalam “membantu melakukan”, kehendak dari orang yang membantu melakukan hanyalah untuk membantu pelaku utama mencapai tujuannya, tanpa memiliki tujuan sendiri.
30.    Bahwa agar terpenuhinya Pasal  55 ayat (1) ke 1e KUHPidana dan Pasal 56 ayat 1 ke1 KUHPidana berdasarkan analisa hukum diatas dikaitkan dengan penetapan tersangka yang dilakukan oleh Termohon  atas diri Pemohon, tidak terdapat satu kehendak untuk melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 161 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Karena Pemohon hanya menjabat Sebagai Komisaris dan atas perintah Direktur PT Lobindo Nusa Persada Pemohon menada tangani Cek yang memang Pemohon tidak tahu dan otoritas Direktur menjalankan Perseroan Terbatas, sehingga dalam Perkara ini Pemohon tidak memiliki kehendak karena tidak tahu persoalan antara Direktur PT Lobindo dengan PT AIPP yang mana itu kewenangan Direksi. ----------------------------------------------------------------------

31.    Keputusan penyidik melakukan penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan, sekarang ini dengan adanya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, menjadi “linear” dengan pengambilan keputusan oleh hakim, melalui putusannya yang menyatakan suatu  tindak pidana telah terbukti dan terdakwa bersalah oleh karenanya.  Dalam hal ini, penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan harus didasarkan sekurang-kurang pada:
a. Adanya Keterangan Saksi dan Surat;
b. Adanya Keterangan Saksi dan Keterangan Ahli;
c. Adanya Surat dan Keterangan Ahli.
Bahwa bukti yang dipertanyakan kepada Pemohon dalam Pemeriksaan Pemohon Sebagai Tersangka adalah Foto Copy yang tidak menampilkan Surat Penyitaan dari Pengadilan Negeri dan disamping itu Cek yang menyebabkan Permohon menjadi Tersangka juga Foto Copy.
32.    Bahwa berdasarkan Pasal 184 KUHAP mengatur sebagai berikut :
(1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk;  e. keterangan terdakwa.
Bahwa berdasarkan pasal 184 KUHAP dihubungkan dengan fakta hukum  yaitu :
a.    Bukti IUP K PT AIPP adalah benar berarti PT AIPP ada izin.
b.     Semua saksi dilapangan tidak ada satupun yang menerangkan bahwa PT, Lobindo melakukan kegiatan Penambangan.
c.     PT. Syimindo Tirta Kimia Tidak kenal Pemohon maupun PT. Lobindo.
d.     PO yang dibuat PT. Syimindo tanggal 16 Agustus 2017 yang menunjuk PT. Lobindo dan menyebutkan nama Direktur PT Lobindo Nusa Persada dalam PO adalah tidak benar dan dokumen palsu atau rekayasa karena Hendrisin,ST Direktur PT. Lobindo Nusa Persada  baru jadi Direktur pada tanggal 8 September 2017.
Sehingga Penetapan Pemohon sebagai Tersangka yang dilakukan Termohon dalam Kapasitas Sebagai Komisaris PT Lobindo Nusa Persada merupakan perbuatan melawan hukum karena apa yang dilakukan Termohon kepada Pemohon tidak sesuai dengan Pasal 184 KUHAP dan disamping itu Semua Bukti Tidak ada Penyitaan diPengadilan. -----------------------------------------------
33.    Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau
azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
34.    Bahwa sudah umum  bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. -----------

35.    Bahwa menurut Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’. -------------------------------------------------------------

36.    Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang.
Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan.------
37.    Bahwa Termohon   seolah lupa atau tidak sadar atau tidak mau tahu tentang hukum acara pidana yang sangat terikat dengan sifat keresmiannya dan karakter hukum acara pidana sangat menjunjung tinggi legalisme yang berarti berpegang teguh pada peraturan, tata cara atau penalaran hukum menjadi sangat penting dalam hukum acara pidana, oleh karenanya sudah seharusnya hukum dapat digunakan untuk melakukan koreksi oleh Pengadilan terhadap tindakan penetapan Tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon  yang dilakukan dengan melanggar Azas Kepastian Hukum itu, dengan menyatakan secara tegas bahwa penetapan tersangka terhadap Pemohon a quo adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat menurut hukum yang mengakibatkan Termohon  tidak dapat lagi melanjutkan proses penyidikan kembali atas dugaan tindak pidana pertambangan sebagaimana diatur dalam Pasal 161 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHPidana Jo Pasal 56 ayat 1 ke 1 KUHPidana,  Dengan demikian berdasarkan seluruh uraian diatas, maka tindakan atau proses penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon  terkait penetapan Tersangka atas diri Pemohon secara hukum adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. ----------------

38.    Bahwa oleh karena Penetapan Tersangka atas diri Pemohon cacat hukum, maka penangkapan yang dilakukan oleh Termohon  berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP.Kap/34/IV/2018/Reskrim , tanggal 19 April 2018 dan Keesokan hari Pemohon ditahan dengan Surat Perintah Penahanan  Nomor : SP.Han/32/IV/2018/Reskrim. Tanggal 20 April 2018 dan bersamaan dengan itu Termohon Menyerahkan Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka Nomor : B/532/IV/2018/Reskrim Tanggal 20 April 2018 cacat hukum dengan segala akibat hukumnya. ---------------------------------------------------------------

39.    Bahwa Pemohon kepada Yang Mulia Hakim Praperadilan, untuk memerintahkan Termohon  untuk mengeluarkan Pemohon dari tahanan dan memulihkan harkat dan martabat serta nama baik Pemohon. --------------------

Selanjutnya PEMOHON juga memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Tanjungpinang, kiranya berkenan memeriksa dan mengadili serta memutuskan perkara ini yang Amarnya sebagai berikut :

PRIMAIR :

1.    Mengabulkan Permohonan PEMOHON untuk seluruhnya;

2.    Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP.Sidik/17/III/2018/Reskrim tanggal 10 Maret 2018 terkait dengan peristiwa pidana sebagaimana diatur dalam sebagaimana yang diatur dalam Pasal 161 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHPidana Jo Pasal 56 ayat 1 ke 1 KUHPidana . tidak sah dan tidak berdasar atas hukum dan oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. ;

3.    Menyatakan penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon sebagaimana diatur Pasal 161 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHPidana Jo Pasal 56 ayat 1 ke 1 KUHPidana. adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hokum dan oleh karenanya Penetapan Tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat;

4.    Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon cacat hukum, maka penangkapan yang dilakukan oleh Termohon  berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP.Kap / 34 / IV / 2018 / Reskrim 19 April 2018 Jo  Surat Perintah Penahanan Nomor SP.Han/32/IV/2018/Reskrim tanggal 20 April 2018, beserta turunannya, cacat hukum dengan segala akibat hukumnya.

5.    Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon  yang berkaitan dengan penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon.

6.    Memerintahkan Termohon untuk mengeluarkan Pemohon dari tahanan sementara, serta memulihkan harkat dan martabat serta nama baik Pemohon.

7.    Menghukum Termohon  membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara a quo.:

Atau apabila Hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)
Hormat kami,
Kuasa Hukum Pemohon


H. EDWARD ARFA, SH                   HERMAN.SH.MH


         EKO MURTSAPUTRA.SH.MH.                    SUHARJO.SH

 

Pihak Dipublikasikan Ya