Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
1/Pid.Pra/2018/PN Tpg | Dr. Drs. Mohammad Nashihan, S.H., M.H | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Rabu, 10 Jan. 2018 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||
Nomor Perkara | 1/Pid.Pra/2018/PN Tpg | ||||
Tanggal Surat | Rabu, 10 Jan. 2018 | ||||
Nomor Surat | Nomor 20 / Sk / I / 2018 | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | Jakarta, 10 Januari 2018
Perihal. Permohonan Praperadilan Pemohon dengan ini mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap : Pemerintah Republik Indonesia Cq. Jaksa Agung Republik Indonesia Cq. Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau beralamat di Jl. Sungai Timun No. 1, Senggarang, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, yang selanjutnya disebut sebagai ……………………………………..……………………….….….. “Termohon”
Bahwa, Praperadilan Ini diajukan sehubungan dengan Penangkapan dan Penahanan yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon sebagaimana dalam Surat Perintah Penangkapan Kepala Kejaksan Tinggi Kepulauan Riau Nomor Print – 331/N.10/Fd.1/11/2017 tanggal 1 November 2017 dan Surat Perintah Penahanan Nomor Print – 82/N.10.5/Fd.1/12/2017.tanggal 21 Desember 2017 Adapun alasan yang mendasari diajukan permohonan Pemeriksaan Praperadilan ini berdasarkan fakta hukum sebagai berikut: I. Legal Standing Pemohon Praperadilan 2. Bahwa, pengajuan permohonan praperadilan oleh Pemohon, adalah didasarkan ketentuan yang diatur dalam Bab X dan Bab XII Bagian Kesatu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan Bab XII Bagian Kesatu Kuhap. Lembaga Praperadilan sebagai sarana untuk melakukan control atau pengawasan horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum seperti Penyelidik, dan/atau Penyidik termasuk dalam penetapan Tersangka. Pengawasan horizontal terhadap kegiatan penyelidikaan, penyidikan sangat penting karena sejak seseorang ditetapkan sebagai Tersangka, maka aparat penegak hukum dapat mengurangi dan membatasi hak asasi seorang manusia. Sebagai upaya hukum untuk mencegah agar aparat penegak hukum tidak melakukan tindakan sewenang-wenang dalam melaksanakan kewenangannya maka diperlukan lembaga yang dapat melakukan pengawasan horizontal terhadap aparat penegak hukum; 3. Bahwa, Oleh karena itu pengujian keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (penetapan Tersangka, Penangkapan dan Penahanan) dilakukan apabila wewenang dilaksanakan secara sewenang-wenang, digunakan dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam Kuhap. Untuk mengukur wewenang tersebut digunakan menurut ketentuan undang-undang, dapat dilihat dari tujuan Penyelidikan berdasarkan Pasal 1 angka 5 Kuhap yaitu untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan dan tujuan Penyidikan berdasarkan Pasal 1 Angka (2) Kuhap yaitu untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya; 4. Bahwa, penangkapan dan penahan adalah merupakan salah satu upaya paksa yang dapat diuji keabsahannya melalui mekanisme praperadilan sebagaimana dimaksud di dalam pasal 77 huruf a KUHAP yang mengatur bahwa Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; 5. Bahwa, Termohon telah melakukan penangkapan terhadap Pemohon sebagaimana dalam Surat Perintah Penangkapan Kepala Kejaksan Tinggi Kepulauan Riau Nomor Print – 331/N.10/Fd.1/11/2017 tanggal 1 November 2017, yang kemudian setelah dilakukan penangkapan tidak dilakukan pemeriksaan, yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap Pemohon sebagaimana Surat Perintah Penahanan Nomor Print – 82/N.10.5/Fd.1/12/2017.tanggal 21 Desember 2017; 6. Bahwa, dengan adanya Penangkapan dan juga penahanan yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon yang tidak sah dan bertentangan dengan hukum serta tidak sesuai dengan prinsip prinsip perlindungan hak-hak tersangka, maka Pemohon telah kehilangan Hak Asasi Manusianya, termasuk dirampas kebebasannya secara tidak sah dan tidak sesuai dengan hukum; 7. Bahwa, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 yang telah mengikat dan memberikan batasan konstitusional terhadap penerapan ketentuan pasal 79 dan Pasal 80 Kuhap mengenai siapa yang berwenang mengajukan praperadilan, maka Pemohon dan Penasehat Hukum Pemohon memiliki kewenangan dan legal standing untuk mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap upaya paksa berupa Penangkapan dan Penahanan Pemohon oleh Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang, sebagai upaya hukum untuk melindungi Pemohon dari tindakan sewenang-wenang Termohon. II. Alasan Hukum Permohonan Praperadilan 2. Bahwa, disamping itu, berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud di dalam pasal 18 ayat (3) KUHAP, bahwa tembusan surat perintah penangkapan tersebut harus diberikan kepada keluarga tersangka segera setelah penangkapan dilakukanm dimana hal ini bertujuan untuk kepastian hukum bagi keluarga pihak yang ditangkap, sebab pihak keluarga dan tersangka mengetahui dengan pasti hendak ke mana tersangka dibawa dan diperiksa. Pemberitahuan penangkapan kepada pihak keluarga yang disampaikan “secara lisan” dianggap “tidak sah”, karena bertentangan dengan ketentuan undang-undang. Pemberian tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga tersangka, ditinjau dari segi ketentuan hukum adalah merupakan kewajiban pihak penyidik; 3. Bahwa, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka pada dasarnya syarat sahnya penangkapan yang dilakukan Termohon kepada Pemohon adalah apabila pelaksanaan penangkapan tersebut adalah sesuai dengan ketentuan a quo, dimana dalam hal ini, Pemohon hanya mendapatkan berita acara penangkapan dan bukan surat perintah penangkapan, yangmana di dalamnya tidak termuat alasan penangkapan yang sah, dan juga tidak mencantumkan tempat dimana Pemohon akan diperiksa, yang mana pada saat dilakukan penangkapan, tidak pernah ada pemeriksaan terhadap Pemohon selama masa penangkapan a quo, sehingga penangkapan a quo tidak dilaksanakan sesuai dengan tujuannya yaitu untuk melakukan pemeriksaan dan meminta keterangan terhadap Pemohon (Vide pasal 1 angka 20 KUHAP), dan kehilangan fungsinya, sedangkan seharusnya merujuk ketentuan di dalam pasal 18 ayat 1 KUHAP, harus diterangkan secara jelas mengenai alasan dilakukannya penangkapan dimana Pemohon juga harus mendapatkan Salinan Surat Perintah Penangkapan; 4. Bahwa, dalam melakukan penangkapan, Termohon Juga telah melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud di dalam pasal 18 ayat 3 KUHAP, dimana seharusnya termohon memberikan Salinan surat penangkapan kepada keluarga Pemohon, namun dalam hal ini, Termohon, sama sekali tidak memberitahukan kepada keluarga pemohon mengenai Penangkapan yang dilakukan kepada Pemohon, dan Lokasi Pemohon akan dibawa untuk diperiksa; 5. Bahwa, dengan demikian, penangkapan yang dilakukan Termohon Kepada Pemohon Adalah bertentangan dengan hukum, sehingga sudah sepatutnya dinyatakan tidak sah. B. PENAHANAN YANG DILAKUKAN OLEH TERMOHON KEPADA PEMOHON BERTENTANGAN DAN TIDAK SESUAI DENGAN KETENTUAN HUKUM ACARA PIDANA SEBAGAIMANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 Tahun 1981. 2. Bahwa, dalam perkara ini, Termohon telah melakukan penahanan dengan mengesampingkan ketentuan sebagaimana dimaksud di dalam pasal 21 ayat 2 KUHAP dan Pasal 21 ayat 3 KUHAP, dimana Termohon telah tidak memberikan tembusan surat penahanan atas Pemohon kepada keluarga, sehingga tidak diketahui dimana Pemohon Ditahan dan berapa lama Pemohon akan ditahan; 3. Bahwa, dengan adanya hal ini, maka karena tidak terpenuhinya ketentuan tersebut, Penahanan yang dilakukan oleh termohon menjadi bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, sehingga sudah sepatutnya penahanan oleh Termohon terhadap Pemohon dinyatakan tidak sah. C. PENANGKAPAN DAN PENAHANAN SEBAGAIMANA YANG DILAKUKAN TERMOHON KEPADA PEMOHON TIDAK SAH KARENA KEJAKSAAN TINGGI KEPULAUN RIAU TIDAK MEMILIKI KEWENANGAN UNTUK MENANGANI PERKARA A QUO. 2. Bahwa, seluruh perbuatan yang diduga menjadi delik dalam perkara ini terjadi di Jakarta yang bukan merupakan yurisdiksi kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau; 3. Bahwa, asas atau kriteria yang pertama dan utama sehubungan dengan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum baik pada tingkatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan persidanganya dalam hukum acara pidana adalah ditentukan oleh Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti); 4. Bahwa, berdasarkan fakta dan dokumen sehubungan dengan perkara ini, andaipun dianggap bahwa perkara perselisihan perdata ini, adalah sebagai perkara pidana, maka yang seharusnya berwenang bukanlah Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau, dimana dokumen dan fakta tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: • Bahwa, Surat Kontrak No.03/kontrak/Lelang-Sekda/KPA/VIII/2007, mengadakan Perjanjian Kerjasama penyelenggaraan asuransi kesehatan dan tunjangan hari tua bagi pegawai negeri sipil dan tenaga harian lepas pada Pemerintah Kota Batam dengan PT.Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya, dimana perjanjian kerjasama tersebut dilaksanakan dan ditandatangani di Jakarta. 5. Bahwa, dengan demikian, maka tempat atau locus delicti terjadinya suatu tindak pidana tersebut adalah di Jakarta, sehingga, karena tempat atau locus delicti terjadinya suatu tindak pidana di Jakarta Pusat maka Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau tidak berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan yang dilanjutkan dengan penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon, jika dilihat dari yuridiksinya daerah atau wilayah hukum yang menjadi kewenangannya; 6. Bahwa, atas hal-hal tersebut di atas, maka Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau telah melakukan Penangkapan dan juga Penahanan Terhadap Pemohon di luar dari kewenangannya, sehingga sudah sepatutnya Penangkapan dan Penahanan sebagaimana dalam Surat Perintah Penangkapan Kepala Kejaksan Tinggi Kepulauan Riau Nomor Print – 331/N.10/Fd.1/11/2017 tanggal 1 November 2017 dan Surat Perintah Penahanan Nomor Print – 82/N.10.5/Fd.1/12/2017.tanggal 21 Desember 2017, adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum. D. PENAHANAN DAN PENANGKAPAN YANG DILAKUKAN TERMOHON ADALAH TIDAK SAH, KARENA YANG MENJADI DASAR DILAKUKANNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN ADALAH SEHUBUNGAN DENGAN PERKARA PERDATA YANG BELUM SELESAI PROSES HUKUMNYA. 2. Bahwa, dengan demikian maka pada dasarnya pokok perkara, adalah sehubungan dengan perjanjian yang berujung pada sengketa perselisihan jumlah polis asuransi (pertanggungan) yang harus dibayarkan oleh PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya, dimana terhadap perkara perdata tersebut, belum terdapat putusan resmi sehubungan dengan perkara a quo mengenai jumlah premi yang harus dibayarkan untuk segera dilakukan eksekusi keperdataan, bahkan petikan putusan dalam upaya hukum atas sengketa tersebut belum diterima oleh PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya, dimana hal ini memaksa Pemohon untuk melayangkan surat agar diperoleh petikan putusan mahkamah agung tentang upaya Peninjauan kembali dalam sengketa perdata a quo agar sehingga didapat kejelasan mengenai jumlah polis asuransi yang harus dibayarkan kepada peserta asuransi terkait perjanjian asuransi kesehatan bagi PNS dan tenaga honorer Pemkot Batam pada pemerintah kota Batam; 3. Bahwa, karena dalam konteks perjanjian, maka penyelesaian semua sengketa adalah melalui proses hukum perdata yang tidak masuk dalam ranah hukum pidana, sehingga apabila pokok persoalan dalam sebuah dugaan tindak pidana adalah terkait dengan penjanjian, maka mekanisme hukum yang dapat dilakukan pada dasarnya adalah mekanisme penyelesaian sengketa secara hukum perdata berupa upaya hukum atas wanprestasi; 5. Bahwa, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1537 K/PID/2013 tanggal 04 Maret 2014, menyatakan perbuatan seseorang yang terkait dengan suatu perbuatan perdata, bukanlah merupakan kejahatan ataupun pelanggaran, sehingga karena perkara ini adalah terkait dengan suatu perbuatan perdata sehubungan dengan perjanjian, maka pengenaan TPPU dan Tindak Pidana Korupsi kepada Pemohon adalah tidak tepat; 7. Bahwa, dengan demikian, maka upaya paksa yang dilakukan oleh termohon dalam hal ini sehubungan dengan Penangkapan dan Penahanan terhadap Pemohon dan penerbitan Surat Perintah Penangkapan Kepala Kejaksan Tinggi Kepulauan Riau Nomor Print – 331/N.10/Fd.1/11/2017 tanggal 1 November 2017 dan Surat Perintah Penahanan Nomor Print – 82/N.10.5/Fd.1/12/2017.tanggal 21 Desember 2017, adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum, karena perkara a quo adalah sehubungan dengan perselisihan perdata terkait perjanjian yang belum selesai proses hukum keperdataannya melalui eksekusi putusan. E. PENANGKAPAN DAN PENAHANAN YANG DILAKUKAN TERMOHON KEPADA PEMOHON ADALAH TIDAK DIDASARKAN PADA BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP MAUPUN BUKTI YANG CUKUP. 2. Bahwa, memperhatikan ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, yang dalam amar putusanya menyatakan, frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Kuhap, adalah inkonstitusional bersyarat, sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 Kuhap; 3. Bahwa, bukti hasil penyidikan oleh Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau dalam Sprindik No. Print-204/N.10.1/Fd.1/07/2017 Dan Sprindik No. Print-205/N.10.1/Fd.1/07/2017, adalah berupa Kesepakatan Penyelesaian sebagian kewajiban PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya terhadap Pemerintah Kota Batam, dan rekening koran pada rekening Bank Mandiri, sehingga tidak memiliki kualitas 2 (dua) alat bukti yng dapat menyatakan bahwa, Pemohon telah diduga keras melakukan tindak pidana, karena tidak memenuhi syarat sebagaimana alat bukti yang diatur berdasarkan pasal 183 sampai pasal 188 KUHAP, dimana aliran dana yang dijadikan alat bukti surat dari Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau berdasarkan rekening koran, hanyalah fakta mengenai aliran dana saja dari milik perseorangan Muhammad Nashihan kepada Muhammad Nashihan; 4. Bahwa, peristiwa di dalam perkara ini tidak dapat dikualifikasi sebagai perbuatan pidana, karena aliran dana berasal dari rekening pribadi kepada rekening pribadi milik subyek hukum yang sama, dimana perpindahan atau aliran dana, baru dapat dinilai sebagai perbuatan pidana apabila dana tersebut terlebih dahulu diketahui berasal dari hasil kejahatan, lalu jika dihubungkan berdasarkan Sprindik No. Print-204/N.10.1/fd.1/07/2017 tentang TPPU dimana telah menjadi fakta hukum bahwa, belum ada predikat crime-nya, karena baru diterbitkan Sprindik Print-205/N.10.1/fd.1/07/2017 sebagai Predikat Crime, sedangkan kesepakatan Penyelesaian sebagian kewajiban PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya terhadap Pemerintah Kota Batam, membuktikan bahwa, hal ini bukanlah perkara pidana melainkan sebuah perkara perdata mengenai perjanjian (wanprestasi); 5. Bahwa, perkara ini pada dasarnya adalah bukan merupakan perkara korupsi, karena tidak adanya alat bukti yang sah yang dimiliki oleh Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau, mengenai pemeriksaan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maupun BPKP, dimana penghitungan kerugian negara secara hukum harus berasal dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan RI atau BPKP hal ini sebagaimana dalam Putusan MK No. 31/PUU-X/2012; 6. Bahwa, karena perkara sehubungan dengan praperadilan ini didasarkan pada bukti yang menyatakan bahwa perkara adalah sehubungan dengan keperdataan dan bukan terkait tindak pidana dan dengan tidak adanya hasil audit dari BPK atau BPKP yang menjadi syarat untuk dapat menyatakan adanya kerugian negara sebagai salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi, maka tidak terdapat bukti permulaan yang cukup dan juga bukti yang cukup untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon; 7. Bahwa, dengan demikian, Penangkapan dan Penahanan oleh Termohon yang dilakukan kepada Pemohon adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum, sehingga sudah sepatutnya dinyatakan Batal demi hukum. F. PENAHANAN DAN PENANGKAPAN TERHADAP PEMOHON ADALAH TIDAK SAH, KARENA TERMOHON MELANGGAR HAK KONSTITUSIONAL PEMOHON DENGAN TIDAK MENYAMPAIKAN SURAT PERINTAH DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP) KEPADA PEMOHON. 2. Bahwa, pasal 109 ayat (1) KUHAP menyatatakan “Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” hal mana terhadap ketentuan tersebut Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor :130/PUU-XIII/2015 tertanggal 11 Januari 2017 yang menyatakan Pasal 109 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan telah diperluas maknanya sehingga Terlapor ic Pemohon memiliki hak konstitusional untuk memperoleh pemberitahuan bahwa penyidik telah memulai proses penyidikan suatu peristiwa pidana yang menempatkannya sebagai Terlapor; 3. Bahwa, berdasarkan pasal 109 ayat (1) KUHAP yang pemaknaanya diperluas oleh Mahkamah Kosntitusi melalui putusan Nomor :130/PUU-XIII/2015, Terlapor ic Pemohon berhak untuk memperoleh pemberitahuan dimulainya penyidikan dari Termohon selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan, hal mana menurut Mahkamah Konsutitusi Republik Indonesia sebagaimana diuraikan dalam halaman 147, hal ini adalah untuk menghindari ketidakpastian hukum yang membawa kerugian bagi terlapor dan korban/pelapor; 4. Bahwa, tindakan Termohon yang tidak memberitahukan dimulainya penyidikan melalui penyerahan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan kepada Pemohon dalam kurun waktu selambat-lamabnya 7 (tujuh) hari sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan Surat Perintah Penyidikan Print-204/N.10.1/Fd.1/07/2017 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Tertanggal 17 Juli 2017 yang diikuti dengan penerbitan Surat Perintah Penyidikan Pertama No. Print-205/N.10.1/Fd.1/07/2017 tanggal 19 Juli 2017 yang secara nyata memperlihatkan bahwa tahapan penyidikan yang dilakukan oleh Termohon dilakukan dengan melanggar hak konstitusional Pemohon dan bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 109 ayat (1) KUHP;
• Bahwa, terdapat 2 (dua) surat perintah penyidikan yaitu : a) Surat Perintah Penyidikan Print-204/N.10.1/Fd.1/07/2017 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Tertanggal 17 Juli 2017; • Bahwa, kedua surat perintah penyidikan tersebut terjelma begitu saja menjadi sprindik No. Print-282/N.10/Fd.1/09/2017 tertanggal 14 September 2017 yang diterbitkan bersamaan dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka, apakah ini bukan cacat procedural ?, untuk membuktikan bahwa ini adalah cacat procedural diperkuat oleh Surat Edaran Jakasa Agung, yang di dalamnya telah jelas diatur terhadap penetapan tersangka tidak perlu diterbitkan surat perintah penyidikan baru, kecuali ditemukan tindak pidana korupsi dan tindak pencucian uang selain yang dicantumkan dalam surat perintah penyidikan awal; • Bahwa, di dalam surat perintah penyidikan Sprindik Print-204/N.10.1/Fd.1 /07/2017 TPPU dan Sprindik 205/N.10.1/Fd.1/07/2017 tentang Tipikor masing-masing tertanggal 19 Juli 2017, dan No. Print-282/N.10/Fd.1/09/2017 tertanggal 14 September 2017 tidak dituangkan mengenai pasal dugaan/sangkaan yang dilanggar, sehingga menjadi tidak jelas mengenai tindakan apa yang disangkakan dalam sprindik tersebut, mengingat tindak pidana Korupsi diatur tidak hanya dalam satu pasal demikian pula dengan Tindak Pidana Pencucian Uang, dimana dengan demikian, maka ketiga sprindik tersebut adalah Cacat Prosedural; • Bahwa, dalam KUHAP disebutkan mengenai dasar dikeluarkannya surat perintah penyidikan (vide :pasal 109 ayat 1 KUHAP), sebagai awal dimulainya penyidikan untuk mengumpulkan bukti permulaan yang cukup, yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti untuk membuat terang suatu dugaan tindak pidana untuk menemukan tersangka dalam dugaan tindak pidana tersebut; • Bahwa seharusnya merujuk pada asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tidak boleh terdapat lebih dari satu surat perintah penyidikan, yang tidak dapat dipecah-pecah, dimana dengan adanya lebih dari satu surat perintah penyidikan dalam satu perkara yang sama, sehingga tindakan Termohon telah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan No. Print-204/N.10.1/Fd.1 /07/2017 tertanggal 17 Juli 2017 dan Surat Perintah Penyidikan No. Print-205/N.10.1/Fd.1/07/2017 tertanggal 19 Juli 2017, yang kemudian begitu saja menjelma menjadi Surat Perintah Penyidikan No. Print-282/N.10.1/Fd.1/09/2017 tertanggal 14 September 2017 adalah menyalahi prinsip asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan; • Bahwa, telah ditentukan berdasarkan surat edaran Jaksa Agung yang dengan tegas memerintahkan kepada penyidik untuk tidak perlu menerbitkan lagi surat perintah penyidikan yang baru untuk menetapkan tersangka, sehingga istilah tindakan Termohon telah membingungkan proses penegakan hukum padahal Kejaksaan adalah lembaga yang terukur dalam setiap tindakan dan perbuatannya; • Bahwa, terkait penggabungan dalam perkara pidana, penggabungan dua buah tindak pidana dalam satu surat perintah penyidikan haruslah terkait dengan tindak pidana yang sejenis, dimana tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang bukanlah perkara sejenis, sehingga dengan demikian, surat perintah penyidikan nomor Print-282/N.10/Fd.1/09/2017 Tanggal 14 September 2017 yang mengambil alih keterangan saksi dan bukti surat dari sprindik Surat Perintah Penyidikan Print-204/N.10.1/Fd.1/07/2017 tertanggal 17 Juli 2017 dan sprindik Print-205/N.10.1/Fd.1/07/2017 tertanggal 19 juli 2017 adalah tidak sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia; • Bahwa, dengan demikian, maka Termohon dalam menetapkan tersangka terhadap Penetapan Pemohon sebagai Tersangka yang didasari oleh lebih dari satu Surat Perintah Penyidikan yang tumpang tindih, yaitu No. Print-204/N.10.1/Fd.1/07/2017 Tertanggal 17 Juli 2017, dan No. Print-205/N.10.1/Fd.1/07/2017 tanggal 19 Juli 2017, yang kemudian ditambahkan Termohon dengan mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan No. Print-282/N.10.1/Fd.1/09/2017 Tanggal 14 September 2017 dalam satu perkara pidana yang sama, telah mengakibatkan tumpang tindih surat perintah penyidikan dan tidak sesuai dengan kaidah hukum acara pidana serta bertentangan dengan prosedur yang diatur di Surat Edaran Jaksa Agung. 2. Penetapan Tersangka Terhadap Pemohon adalah Tidak Sah Secara Hukum, karena Pemohon Tidak Pernah Diperiksa Atau Dimintai Keterangannya Sebelum ditetapkan sebagai Tersangka, oleh Termohon. • Bahwa, syarat dari ditetapkannya seseorang sebagai tersangka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor: 21/PUU-XII/2014, menyebutkan bahwa sebelum ditetapkan tersangka, adalah wajib memeriksa dan mendapatkan keterangan dari calon tersangka (in cassu Pemohon); • Bahwa, dengan demikian maka Penangkapan dan Penahanan oleh Termohon terhadap Pemohon adalah tidak sah dan cacat hukum, karena sampai saat ini belum pernah dilakukan pemeriksaan terhadap Pemohon oleh Termohon. 3. Penetapan Pemohon Selaku Tersangka Oleh Termohon Adalah Cacat Prosedural Dan Bertentangan Dengan Prinsip Due Process Of Law Dan Yang Dianut Oleh Kuhap, Dan Prinsip Kepastian Hukum Serta Perlindungan Hak Calon Tersangka, Juga Bertentangan Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/Puu-Xii/2014, Karena Tidak Didasarkan Pada Bukti Permulaan Yang Cukup. • Bahwa, antara tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana korupsi harus didahulukan pemeriksaan terhadap Tindak Pidana Korupsi sebagai predicat crime, dimana maksud dari diperiksanya dahulu tindak pidana korupsi sebagai predikat crime adalah untuk membuktikan bahwa uang berasal dari tindak pidana korupsi, hal ini ada konsekuensi logis dari ketentuan mengenai uang dalam tindak pidana pencucian uang harus berasal dari tindak pidana seperti korupsi, sehingga apabila salah satu unsur dalam pasal tindak pidana korupsi tidak terpenuhi maka tidak ada tindak pidana korupsi, termasuk mengenai perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana korupsi; • Bahwa, dengan diterbitkannya sprindik No. Print-204/N.10.1/Fd.1/07/2017 Tertanggal 17 Juli 2017 tentang TPPU (tindak pidana pencucian uang), daripada sprindik No. Print-205/N.10.1/Fd.1/07/2017 tanggal 19 Juli 2017 tentang Tindak Pidana Korupsi, adalah merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip pembuktian dimana, penerbitan sprindik yang semacam itu akan berimplikasi pada tidak ditemukaannya bukti tentang sebuah peristiwa hukum merupakan sebuah tindak pidana pencucian atau bukan, mengingat tindak pidana korupsi adalah merupakan salah satu unsur dalam TPPU; • Bahwa, dikaitkan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon, dengan fakta adanya penerbitan surat perintah penyidikan yang seperti itu, maka adalah mustahil untuk dapat menetapkan Pemohon sebagai tersangka, karena salah satu unsur yang menentukan sebuah tindakan merupakan TPPU atau bukan belum dilakukan pada saat TPPU mulai diselidiki, sehingga patut dipertanyakan, apakah dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka adalah atas dasar bukti permulaan yang cukup ?; • Bahwa, penetapan tersangka di awal tahapan penyidikan adalah tidak dibenarkan secara hukum acara pidana, dan jelas bertentangan dengan norma hukum pidana untuk melindungi hak-hak asasi manusia bagi calon tersangka, serta untuk memastikan terpenuhinya asas kepastian hukum; • Bahwa, penetapan tersangka yang dilakukan oleh Termohon praperadilan adalah bertentangan dengan prosedur dalam hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, serta tidak didasarkan pada minilal 2 alat bukti, dan melanggar hak calon tersangka, serta bertentangan dengan asas kepastian hukum; • Bahwa, penegakan hukum substantive tidak boleh melanggar hukum procedural, dimana dalam hal ini, Termohon mendalilkan tindakan penetapan tersangka terhadap Pemohon adalah untuk dilakukan penegakan hukum substantive, namun dalam pelaksanaannya Termohon telah melanggar hukum procedural, dimana penetapan tersangka terhadap Pemohon praperadilan oleh Termohon praperadilan adalah bertentangan dengan prinsip due process of law dan yang dianut oleh KUHAP dan prinsip kepastian hukum dan perlindungan hak calon tersangka, serta bertentangan dengan norma pidana sebagaimana tertuang dama putusan mahkamah konstitusi nomor : 21/PUU-XII/2014, dimana tindakan Termohon tersebut tidak juga didasarkan pada minimal 2 bukti sebagaimana dalam pasal 184 KUHAP sebagai bukti permulaan yang cukup. Kesimpulan 2. Bahwa, Termohon telah melakukan penahanan dengan mengesampingkan ketentuan sebagaimana dimaksud di dalam pasal 21 ayat 2 KUHAP dan Pasal 21 ayat 3 KUHAP, dimana Termohon telah tidak memberikan tembusan surat penahanan atas Pemohon kepada keluarga, sehingga tidak diketahui dimana Pemohon Ditahan dan berapa lama Pemohon akan ditahan; 3. Bahwa, Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau telah melakukan Penangkapan dan juga Penahanan Terhadap Pemohon di luar dari kewenangannya, karena Locus delicti bukan di daerah hukum Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau; 4. Bahwa, penahanan dan penangkapan yang dilakukan termohon adalah tidak sah, karena yang menjadi dasar dilakukannya penangkapan dan penahanan adalah sehubungan dengan perkara perdata yang belum selesai proses hukumnya. 5. Bahwa, penangkapan dan penahanan yang dilakukan termohon kepada pemohon tidak memenuhi syarat sebagaiana dimaksud di dalam KUHAP, karena tidak didasarkan pada bukti permulaan yang cukup maupun bukti yang cukup. 6. Bahwa, penahanan dan penangkapan terhadap pemohon adalah tidak sah, karena termohon melanggar hak konstitusional pemohon dengan tidak menyampaikan surat perintah dimulainya penyidikan (spdp) kepada pemohon. 7. Bahwa, penahanan dan penangkapan terhadap pemohon didasari oleh penetapan tersangka yang tidak sah dan bertentangan dengan hukum. 8. Bahwa, dengan adanya Penangkapan dan juga penahanan yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon yang tidak sah dan bertentangan dengan hukum serta tidak sesuai dengan prinsip prinsip perlindungan hak-hak tersangka, maka Pemohon telah kehilangan Hak Asasi Manusianya, termasuk dirampas kebebasannya secara tidak sah dan tidak sesuai dengan hukum.
Berdasarkan alasan-alasan diatas, jelas bahwa upaya paksa berupa Penangkapan dan Penahanan terhadap Pemohon yang tidak sah dan melawan hukum dan oleh karenanya harus dinyatakan batal demi hukum. Permohonan Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan diatas, Pemohon memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Pinang Yang Terhormat berkenan memeriksa dan memutus Praperadilan sebagai berikut : Mohon putusan yang seadil-adilnya ex aequo et bono.
|
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |