Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
4/Pid.Pra/2017/PN Tpg | BASRI | Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan PSDKP Batam | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Jumat, 24 Nov. 2017 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||
Nomor Perkara | 4/Pid.Pra/2017/PN Tpg | ||||
Tanggal Surat | Jumat, 24 Nov. 2017 | ||||
Nomor Surat | 003/SK/-Pid/XI/2017 | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan |
Batam, 24 Nopember 2017 KepadaYth:
Yang bertanda tangan dibawah ini : Rudy Sirait, SH Advokat dan Pengacara berkantor di/pada kantor Pengacara Law Office RUDY SIRAIT, SH & Partners”, beralamat dan berkantor di Komplek Permata Regency Blok FF/3A, Kota Batam, Kepulauan Riau. 29462, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama BASRI, Nahkoda KM Kawal Bahari I, bertempat tinggal di Perum Raya blok Catur I No 06 kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau (selanjutnya disebut “klien”), berdasarkan Surat Kuasa Khusus No : 003/SK-Pid/XI-2017 tertanggal 23 Nopember 2017 selanjutnya disebut sebagai……………………………….. “PEMOHON”. Pemohon dengan ini mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap : Pemerintah Republik Indonesia cq Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia cq Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam, Jalan Trans Barelang Pulau Nipah Jembatan II kelurahan Setokok, Kecamatan Bulang Kota Batam, Kepulauan Riau, selanjutnya disebut sebagai ……………….…………... “TERMOHON”.
PEMOHON Praperadilan adalah Advokat yang sedang menjalankan Tugas Profesinya, dalam kedudukanya sebagai Advokat atau Penerima Kuasa dari Klien. PEMOHON diidentikan dengan klien sebagai berikut :
1. Bahwa berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 “Negara Republik Indonesia adalah negara hukum” dan menurut Pasal 28D UUD 1945, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Ketentuan kedua pasal Undang-Undang Dasar ini bermakna bahwa adalah merupakan hak asasi manusia untuk mempertahankan harkat, martabat, dan kedudukannya sebagai manusia di hadapan hukum melalui proses hukum yang berkeadilan, bermartabat serta mengedepankan due procces of law; 2. Bahwa pengajuan Permohonan Praperadilan oleh Pemohon didasarkan ketentuan yang diatur dalam Bab X Bagian Kesatu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP. Lembaga Praperadilan sebagai sarana untuk melakukan control atau pengawasan horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum seperti Penyelidik, dan/atau Penyidik termasuk dalam penetapan Tersangka. Pengawasan horizontal terhadap kegiatan penyelidikaan, penyidikan sangat penting karena sejak seseorang ditangkap ditetapkan sebagai Tersangka, maka aparat penegak hukum dapat mengurangi dan membatasi hak asasi seorang manusia. Sebagai upaya hukum untuk mencegah agar aparat penegak hukum tidak melakukan tindakan sewenang-wenang dalam melaksanakan kewenangannya maka diperlukan lembaga yang dapat melakukan pengawasan horizontal terhadap aparat penegak hukum. Oleh karena itu pengujian keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum pada saat penangkapan termasuk dalam penetapan Tersangka dilakukan apabila wewenang dilaksanakan secara sewenang-wenang, digunakan dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP. Untuk mengukur wewenang tersebut digunakan menurut ketentuan undang-undang dapat dilihat dari tujuan Penyelidikan berdasarkan Pasal 1 angka 5 KUHAP yaitu untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan dan tujuan Penyidikan berdasarkan Pasal 1 Angka (2) KUHAP yaitu untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya; 3. Bahwa, berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum” dan menurut Pasal 28D UUD 1945, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Ketentuan kedua pasal Undang-Undang Dasar ini bermakna bahwa adalah merupakan hak asasi manusia untuk mempertahankan harkat, martabat, dan kedudukannya sebagai manusia di hadapan hukum melalui proses hukum yang berkeadilan, bermartabat serta mengedepankan 5. Bahwa PEMOHON ditangkap pada tanggal 15 Nopember 2017 atas dasar pemeriksaan dokumen dokumen kapal oleh Petugas PSDKP yang menyatakan tidak berlakunya Surat Ijin Usaha Perusahaan Angkutan Laut (SIUPAL) yang dilanjutkan dengan membawa Tersangka dan barang bukti ke Pangkalan PSDKP Batam sesuai dengan Surat Perintah Penangkapan No 017/KP.HIU 04/PSDKP.3/PP.520/XI/2017 tertanggal 15 Nopember 2017 adalah tindakan sewenang-wenang dan bertentangan dengan peraturan perundang undangan sepanjang dimaknai sebagaimana pasal 18 ayat (2) dan pasal 77 huruf (a) KUHAP; 6. Bahwa Penyitaan barang bukti atas dasar Surat Perintah Penyitaan No : SP.Sita.07.ak/PPNS-Kan/Lan.2/PP.520/XI/2017 tertanggal 17 Nopember 2017 untuk kepentingan penyidikan sebagaimana diatur pada Pasal 38 dan atau Pasal 39 KUHAP adalah sewenang-wenang dan bertentangan dengan peraturan perundang undangan sepanjang dimaknai pada pasal 42 ayat (1) dan pasal 77 huruf (a) KUHAP; 7. Bahwa, sehubungan dengan Penetapan Tersangka bagi Pemohon Praperadilan maka memperhatikan ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, yang dalam amar putusanya menyatakan, frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17,
“Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang diadili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum”; (Putusan Mahkamah Konstitusi hal 105-106), sehingga berdasarkan perintah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Penetapan Tersangka bagi Pemohon Praperadilan terkualifikasi sebagai upaya paksa yang dilakukan Penyidik berdasarkan Bukti Permulaan dan atau Bukti Permulaan yang cukup; 8. Bahwa memperhatikan amar yang berbunyi inkonstitusional bersyarat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 yang memaknai upaya paksa dalam Pasal 77 huruf (a), dengan frase sepanjang dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan, dan Penyitaan telah menempatkan Penetapan Tersangka sebagai upaya paksa yang bisa diuji melalui Praperadilan dan menjadi hak konstitusional bagi Pemohon Praperadilan serta berdasarkan Pasal 78 Ayat (1) KUHAP merupakan wewenang Pengadilan Negeri; 9. Bahwa, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 yang telah mengikat dan memberikan batasan konstitusional terhadap penerapan ketentuan pasal 79 dan Pasal 80 KUHAP mengenai siapa yang berwenang mengajukan praperadilan, maka PEMOHON dan Penasehat Hukum PEMOHON memiliki kewenangan dan dasar hukum untuk mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap upaya paksa berupa Penangkapan, Penyitaan dan Penetapan Tersangka/Pemohon oleh TERMOHON di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang, sebagai upaya hukum untuk melindungi Pemohon dari tindakan sewenang-wenang TERMOHON;
A. FAKTA FAKTA HUKUM. 1. Bahwa PEMOHON adalah nahkoda KM Kawan Bahari I, sebuah kapal Kargo milik PT HANKA, sebuat perusahan pelayaran bergerak dibidang pengangkutan barang (General Kargo) berkedudukan di Kabupaten Bintan beralamat di Jalan Wisata Bahari Rt 02 Rw 11, Kelurahan Kawal Kecamatan Gunung Kijang, pada tanggal 15 Nopember 2017 melakukan pelayaran dari pelabuhan Kijang dengan tujuan pelabuhan Jurong Singapore setelah sebelumnya mendapat persetujuan berlayar dari Syahbandar pelabuhan Kijang melalui Surat Persetujuan Berlayar (Port Clearance) No. C12/APII/273/XI/2017 tertanggal 15 Nopember 2017. Sekitar satu jam perjalanan dari pelabuhan Kijang pada sekitar pulau Sore posisi 00.52.846 N, 104.23.902 E Pemohon diminta untuk berhenti oleh Kapal HIU 04. PEMOHON sebagai warga Negara yang taat hukum melaksanakan perintah PSDKP, setelah kapal HIU 04 sandar pada KM Kawal Bahari I, PEMOHON diminta naik ke Kapal HIU. PEMOHON naik dan menghadap petugas TERMOHON yang telah menunggu diatas kapal HIU 04: 2. Bahwa tanpa memperkenalkan diri terlebih dahulu kepada PEMOHON oleh TERMOHON meminta menyerahkan dokumen kapal dan dokumen lain yang berhubungang dengan kelautan kapal untuk diperiksa. Pada saat pemeriksaan TERMOHON dengan nada tinggi menyampaikan bahwa Surat Ijin Usaha Perusahaan Angkutan Laut (SIUPAL), namun PEMOHON menjelaskan bahwa SIUPAL tersebut masih berlaku. Sambil menunjuk kearah tanggal yang tertera pada dokumen SIUPAL, TERMOHON mengatakan bahwa SIUPAL tersebut telah mati. Berselang kemudian TERMOHON memerintahkan agar memanggil Cincu, beberapa menit kemudian PEMOHON datang bersama Cincu. Kepada cincu TERMOHON juga mengatakan bahwa dokumen SIUPAL atas KM Kawal Bahari I telah mati: 3. Bahwa untuk mengecek kebenaran dokumen SIUPAL tersebut cincu menghubungi karyawan perusahan PT HANKA yang khusus menangani dokumen perusahaan, sesaat setelah berkomunikasi, cincu meminta TERMOHON agar mau mendengar penjelasan karyawan PT HANKA yang dihubungi melalui Handphone, namun TERMOHON tidak mau. Beberapa saat kemudian TERMOHON menyampaikan kepada PEMOHON agar menyuruh ABK yang berada pada KM Kawal Bahari I menahkodai KM Kawal Bahari I menuju Pangkalan TERMOHON serta memerintahkan PEMOHON dan cincu untuk tetap
4. Bahwa TERMOHON menyita seluruh dokumen dokumen yang diserahkan PEMOHON tanpa menerima tanda terima Surat Tanda Terima dari TERMOHON bersamaan dengan Kapal HIU 04 bergerak meninggalkan KM Kawal Bahari I tanpa PEMOHON sebagai Nahkoda, dan melihat kejadian tersebut PEMOHON menghubungi dan memandu ABK yang berada di atas KM Kawal Bahari I agar bergerak mengikuti kapal HIU 04: 5. Bahwa ketika Kapal HIU 04 melintasi daerah pulau Airaja, PEMOHON tidak melihat KM Kawal Bahari I mengikuti kapal HIU lagi, PEMOHON kawatir dan meminta kepada TERMOHON untuk putar haluan dan mencari, namun tidak mau, tetapi TERMOHON hanya memberhentikan untuk menunggu KM Kawal Bahari I, dan tidak kunjung datang. Melihat situasi tersebut klien kami meminta kepada TERMOHON untuk putar haluan atas kapal HIU 04 untuk mencari KM Kawal Bahari I. PEMOHON kwatir KM Kawal Bahari dan ABK mengalami kecelakaan akibat diminta bergerak tanpa PEMOHON sebagai Nahkoda kapal, sebab daerah sekitar perairan Pulau Awi terdapat banyak karang dan merupakan perairan yang dangkal yang berbahaya bagi kapal kapal yang melintas: 7. Bahwa sekitar pukul 23.00 WIB PEMOHON, ABK KM Kawal Bahari I dan KM Kawal Bahari I tiba dipangkalan TERMOHON; 8. Bahwa pada tanggal 17 Nopember 2017 sekitar pukul 14.00 WIB, PEMOHON diperintahkan untuk menandatangani beberapa dokumen oleh TERMOHON tanpa didampingi Penasehat Hukum sebagai berikut : - Berita Acara Pemeriksaan Kapal Surat Perintah Membawa Kapal tertanggal 15 Nopember 2017.
2. Bahwa penangkapan terhadap PEMOHON dan ABK yang berjumlah 10 orang didasarkan pada Surat Perintah Penangkapan No: 017/KP.HIU.04/PSDKP.3/PP.520/XI/2017 tertanggal 15 Nopember 2017 oleh TERMOHON, PEMOHON tidak mendapat informasi atau yang menjadi alasan penangkapan terhadap PEMOHON dan pada ABK yang berjumlah 10 orang sebagaimana diatur pada Pasal 18 ayat (1) hingga permohonan ini diajukan baik keluarga PEMOHON dan/atau keluarga para ABK yang berjumlah 10 orang tidak/belum menerima tembusan Surat Penangkapan sebagaimana diatur pada Pasal 18 ayat (3) KUHAP, sehingga penangkapan tersebut cacat hukum; 3. Bahwa berdasarkan bukti yang cukup sesuai Pasal 1 butir 14 KUHAP alasan penangkapan terhadap PEMOHON, oleh TERMOHON yang dipandang telah memenuhi syarat dan cukup alasan (bersifat umum) serta ketentuan perundang undangan mana yang dilanggar harus tertera dengan jelas pada formulir 07 yang menjadi alasan penangkapan;
6. Bahwa penyitaan merupakan upaya paksa yang mengharuskan PEMOHON menyerahkan benda-benda yang secara hukum dalam penguasaannya kepada TERMOHON tanpa landasan hukum yang ada dapat dianggap telah merampas hak-hak dan kebebasan PEMOHON sehingga penyitaan dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undang dan dinyatakan cacat hukum; 8. Bahwa berdasarkan laporan tersebut di atas pada point B.1 belum dilakukan penyelidikan atau sekurang kurangnya dapat diangggap belum dilakukan penyelidikan, dipandang telah memenuhi syarat yang cukup alasan untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan maka dalam menerbitkan Surat Perintah
10. Bahwa hasil Penyelidikan yang dipandang telah memenuhi syarat dan cukup alasan untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan maka dalam menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (bersifat umum), selanjutnya dalam proses Penyidikan agar dioptimalkan pengumpulan alat bukti yang diperlukan sebagaimana ketentuan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP minimal 2 (dua) Alat Bukti, diutamakan keterangan saksi saksi, alat bukti Surat dan/atau alat bukti lainnya untuk membuktikan masing-masing Tindak Pidana Perikanan yang disangkakan, serta terlebih dahulu dilakukan penyitaan dan pemeriksaan saksi yang berpotensi menjadi tersangka, barulah setelah itu ditetapkan Tersangkanya; 11. Bahwa, Permohonan Pengujian Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP oleh Pemohon Bachtiar Abdul Fatah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 Tanggal 28 April 2015 ditegaskaan bahwa Penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan juga sebagai obyek dari praperadilan; 12. Bahwa, menurut ahli hukum pidana Dr. Chairul Huda, S.H., M.H dalam Keterangan Ahli pada perkara No. 67/Pid.Prap/2015/PN.JKT.Sel. dijelaskan bahwa, Surat Perintah Penyidikan bukanlah suatu produk hukum yang diadakan untuk menetapkan tersangka akan tetapi Surat Perintah Penyidikan adalah untuk memberi kewenangan kepada sejumlah orang yang disebut di dalam Surat Perintah Penyidikan adalah untuk melakukan serangkaian dari tindakan penyidikan (serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti guna membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan Tersangkanya), dengan demikian dilihat dari definisi penyidikan, penetapan Tersangka itu berada dibagian akhir dari proses penyidika sedangkan bagian awal penyidikan adalah mencari dan mengumpulkan bukti-bukti. Dengan ditetapkanya PEMOHON sebagai Tersangka melalui Surat Perintah Penyidikan oleh TERMOHON telah melanggar Hak Azasi Manusia PEMOHON dan menyimpang dari filosofi dan tujuan dari Hukum Acara yaitu untuk melindungi hak asasi warga negara, sekaligus untuk membatasi penggunaan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada aparat penegak hukum terutama dalam melaksanakan upaya paksa yang berujung kepada pembatasan hak Azasi seseorang; 13. Bahwa praktik peradilan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman juga menentukan, ”Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Hal ini sesuai dengan pedoman pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan bahwa : “Bahwa mengingat demi kepentingan pemeriksaan perkara diperlukan adanya pengurangan-pengurangan dari hak-hak asasi tersangka, namun bagaimanapun hendaknya selalu berdasar ketentuan yang diatur dalam undang-undang, maka untuk kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak asasi tersangka atau terdakwa diadakan suatu lembaga yang dinamakan praperadilan”. Bahwa perlindungan terhadap hak tersangka tersebut juga sudah sesuai dengan bunyi Article 9 International Covenant on Civil and Political Rights yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun akan dikenakan penangkapan atau penahanan sewenang-wenang. Tidak seorangpun akan dirampas kebebasannya kecuali atas dasar tersebut dan sesuai dengan prosedur seperti yang ditetapkan oleh undang-undang”; 14. Bahwa, upaya paksa berupa Penetapan Tersangka terhadap PEMOHON oleh TERMOHON, telah menyimpang dari Prosedur Penetapan Tersangka, yang mengharuskan bahwa dalam Penetapan Tersangka, hanya boleh diperkenankan dengan mempunyai sekurang kurangnya 2 (dua) alat bukti sehingga TERMOHON diharuskan mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan, dalam setiap pengambilan keputusan (In casu dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka), dan oleh karena adanya ketidak hati-hatian terhadap upaya paksa berupa Penetapan PEMOHON sebagai Tersangka, maka terjadi perampasan hak-hak dan kebebasan PEMOHON sehingga Penetapan Tersangka tersebut harus dinyatakan cacat hukum ; 15. Penetapan PEMOHON sebagai Tersangka oleh TERMOHON tidak didasarkan Bukti Permulaan yang cukup, karena Penetapan Tersangka yang dilakukan oleh TERMOHON kepada PEMOHON dilakukan sebelum atau dapat sekurang kurangnya bersamaan dengan dikeluarkanya Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP.Sidik 02.ak/PPNS-Kan/LAN.2/PP.520/PP.520/XI/2017 tertanggal 16 Nopember 2017, hal ini terlihat dengan jelas pada Berita Acara Penyitaan tertanggal 17 Nopember 2017 pada point 10 (sepuluh) perihal “Berita Acara Serah Terima Tersangka dan Barang Bukti dari KP HIU 04, tanggal 16 Nopember 2017”, bahwa penyerahan Tersangka didefenisikan bahwa penetapan tersengak telah dilakukan TERMOHON kepada PEMOHON sebelum atau sekurang kutang nya besamaan dengan Surat Perintah Penyidikan dikeluarkan, sehingga Penetapan Tersangka yang seharusnya adalah Proses akhir Penyidikan, ditempatkan menjadi proses sebelum dilakukan Penyidikan atau sekurang-kurang ditempatkan menjadi Proses Awal Penyidikan dan tidak sesuai dengan konteks hukum pembuktian universal yang dikenal dengan istilah physical evidence atau real evidence, sehingga Penetapan Tersangka kepada PEMOHON oleh Termohon harus dinyatakan cacat hukum; . 17. Bahwa, hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur dan memberikan batasan yang dapat dilakukan oleh Negara dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga proses peradilan dengan metode yang baku untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak individu selama proses hukum berlangsung. Hukum acara dirancang untuk memastikan proses hukum yang adil dan konsisten yang biasa disebut sebagai “due process of law” untuk mencari keadilan yang hakiki dalam semua perkara yang diproses dalam penyelidikan hingga proses pengadilan. Setiap prosedur dalam due process of law menguji dua hal, yaitu: (1) apakah Negara telah menghilangkan kehidupan, kebebasan dan hak milik PEMOHON tanpa prosedur; (2) jika menggunakan prosedur, apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan due process. (Rhonda Wasserman, 2004, Procedural Due Process: A Reference Guide to the United States Constitution, Santa Barbara: Greenwood Publiishing Group, halaman 1); 18. Bahwa, terhadap penetapan PEMOHON sebagai Tersangka yang melakukan tindak Pidana Perikanan oleh Termohon, memunculkan pertanyaan antara lain:
19. Bahwa, merujuk norma Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14 KUHAP, maka sangat jelas bahwa minimal dua alat bukti yang sah belum dikumpulkan oleh TERMOHON, dan ketika proses penyidikan tersebut belum dilalui dan belum terang tindak pidananya, penetapan Tersangka sebelum atau sekurang kurangnya dilakukan dikeluatkannya Surat Perintah Penyidikan No SPDP.13.ak/PPNS-Kan.2/PP.520/XI/2017 tertanggal 16 Nopember 2017, ternyata Termohon tanpa ada minimal dua alat bukti yang sah, telah serta merta menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka tidak ada penjelasan mengenai pasal apa yang disangkakan kepada Tersangka tersebut, selanjutnya bahwa penentuan status PEMOHON menjadi Tersangka oleh TERMOHON yang tidak didasarkan minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sesuai Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU – XII/2014 tanggal 28 April 2015 merupakan tindakan sewenang–wenang, merupakan bentuk pelanggaran hak konstitusional PEMOHON selaku warga Negara Indonesia di dalam negara berdasar hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, selain itu juga bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) berbunyi : 20. Bahwa, penetapan Tersangka terhadap PEMOHON oleh TERMOHON berdasarkan Pasal 1 Angka (14) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (yang untuk selanjutnya disebut sebagai “KUHP”), mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.” Dengan penafsiran bukti permulaan adalah 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 Kuhap selain ketentuan tersebut. Bahwa seseorang dapat ditetapkan sebagai Tersangka melakukan tindak pidana perbuatannya atau keadaan berdasarkan bukti permulaan melakukan penangkapan ikan tanpa ijin sebagaimana diatur Undang-Undang No 31 tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004; 21. Bahwa bukti permulaan yang cukup yang diatur pada Pasal 184 KUHAP jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 ¬ 22. Bahwa sebelum berlayar KM Kawal Bahari I yang dinahkodai PEMOHON telah mengurus dan melengkapi semua dokumen yang dibutuhkan yang disyaratkan perundang undangan seperti Surat Ijin Berlayar yang dikeluarkan oleh Syahbandar selaku otoritas yang mengeluarkan Surat Ijijn Tersebut setelah sebelumnya telah melalui serangkaian pemeriksaan pemeriksaan termasuk instansi yang sama dengan instansi TERMOHON; 23. Bahwa dengan tidak adanya kegiatan yang menyatakan PEMOHON telah melakukan kegiatan usaha perikanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004, maka tidak ada alasan obyektif yang sah untuk menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka. Dengan demikian maka tidak ada dugaan berdasarkan alat bukti yang cukup atau perbuatan PEMOHON memenuhi elemen pokok adanya usaha bidang perikanan, sehingga Penetapan PEMOHON sebagai Tersangka oleh TERMOHON cacat hukum; 24. Bahwa, penetapan seorang Tersangka harus berpedoman pada ketentuan Pasal 183 KUHAP, yaitu sekurang-kurangnya berdasarkan dua alat bukti yang sah. Dengan demikian untuk menetapkan seorang menjadi Tersangka dalam tindak pidana perikanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 92 jo 26 ayat (1), Pasal 94 jo Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004, penyidik harus sekurang-kurangnya mempunyai dua alat bukti yang sah bahwa tindak pidana itu betul-betul terjadi dan tersangkalah yang melakukan perbuatan pidana itu setelah dilakukan pemeriksaan terhadap calon tersangka sebagaimana diputusakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, Bahwa seseorang dapat ditetapkan sebagai Tersangka melakukan tindak pidana, karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan yang melakukan kegiatan usaha perikanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 butir (9) jo Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2002 yang menyatakan bahwa tidak berlaku terhadap kapal pengangkutan umum (General Kargo), sehingga 2 bukti permulaan yang sah menurut TERMOHON tidak terpenuhi atau cacat hukum; 25. Bahwa, Menurut Moeljatno Tempus delicti, yaitu berdasarkan waktu, untuk menentukan apakah suatu undang-undang dapat diterapkan terhadap suatu tindak pidana, sedangkan Locus Delicti dalam kamus hukum S. Adiwinoto, yang artinya tempat, locus delicti adalah ketentuan tentang tempat terjadinya tindak pidana. ”tempat,” sedangkan delictum berarti “perbuatan melawan hukum, kejahatan, dan tindak pidana”. Sehingga locus delicti berarti “tempat kejadian dari kejahatan”. Selanjutnya karena peristiwa pembuatan penangkapan terhadap PEMOHON oleh TERMOHON di wilayah perairan Pulau Sore masuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Pinang;
KESIMPULAN Berdasarkan uraian-uraian pada point di atas maka disimpulkan bahwa ; a. Penangkapan PEMOHON dilakukan oleh TERMOHON tidak sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dikarenakan; 1. Bahwa Penangkapan dilakukan tanpa prosedur penangkapan sebagaimana diatur pada Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) jo Pasal 8 ayat (1) KUHAP 4. Bahwa TERMOHON Prematur dalam menetapkan PEMOHON Praperadilan sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Perikanan. Hal ini dilihat dari proses awal penangkapan hingga penetapan Tersangka terhadap PEMOHON tidak melalui proses yang diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangn yang berlaku.
PETITUM Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas, PEMOHON memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Pinang cq Hakim Tunggal yang memeriksa Perkara Permohonan Praperadilan ini berkenan memeriksa dan memutus perkara ini sebagai berikut : 1. Mengabulkan Permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
Penasehat Hukum Pemohon
RUDY SIRAIT, SH
|
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |